Perkelahian yang sering terjadi di tingkat pelajar kini
kembali terjadi di tingkat Sekolah Menengah Pertama, ironisnya, perkelahian ini
direkam oleh salah satu pihak dengan menggunakan kamera ponsel.
Pihak sekolah telah melakukan tindakan dengan cara merazia
masing-masing ponsel siswanya dan memanggil siswa dan orang tua yang
bersangkutan.
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan
interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut
kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam
hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat faktor psikologis mengapa
seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
Faktor internal. Remaja
yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi
lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman
pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang
makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan
tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka
kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk
pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri
dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan
memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang
sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah
frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain,
dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan
pengakuan.
Faktor
keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan
(entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak,
ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya,
sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya,
orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai
individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang
unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara
total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
Faktor
sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang
sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah
terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu,
lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya
suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak
adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan
kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah
pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru
lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh
otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk
berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
Faktor
lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah
yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya
perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota
lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana
transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang
penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu
dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung
untuk munculnya perilaku berkelahi.
Remaja
yang tingkat emosionalnya tidak stabil, dan mudah terpengaruh seharusnya sering
dilakukan pendekatan dan pengawasan dari keluarga, sekolah, dan teman-teman
sebayanya, karena dengan dilakukannya pendekatan dan pengawasan siswa
dihindarkan dari perilaku negatif yang akan berdampak buruk bagi dirinya
sendiri dan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar